Kakek, Pahlawanku
Aku pulang sekolah sambil menangis. Kesal sekali hatiku hari ini. Lagilagi teman- teman mengejekku. “Si hitam…, si hitam..!” begitu mereka selalu memanggilku. Kulitku memang hitam, rambutku juga hitam. Mau bagaimana lagi? Ayah dan ibuku juga berkulit hitam, bagaimana mungkin aku bisa berkulit putih? Awalnya aku hanya diam. Diam tak menjawab. Tetapi, teman-temanku tidak berhenti mengejekku. Semakin aku diam, semakin banyak teman yang ikut mengejek. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku diam…, dan diam…, menahan tangis, yang akhirnya tak tertahan lagi di perjalanan pulang.
Sampai di depan rumah, ternyata ada kakek yang duduk di teras depan. Aku mengusap air mata, berusaha menyembunyikan tangisku. Tetapi, kakek selalu tahu. Ia selalu tahu ketika aku sedang sedih. Kakek hanya tersenyum dan memintaku duduk di sampingnya. Kakek diam tak bertanya, hanya mengusap punggungku lembut, menunggu tangisku reda. Akhirnya aku bercerita pada kakek. Aku menumpahkan kesal hatiku pada teman-teman yang mengejekku. Kakek tersenyum dan tersenyum lagi. Aku hampir saja bertambah kesal. Mengapa kakek tidak ikut marah pada teman- temanku?
Setelah habis ceritaku, kakek berkata “Jangan memberatkan hati dengan masalah yang kecil. Coba cari akal untuk meringankan beban hatimu.”
“Bagaimana caranya, Kek? Aku sudah diam.., dan diam tidak menanggapi. Tetapi, teman-temanku tidak berhenti mengejekku.” aku menjawab permintaan Kakek dengan cepat.
“Besok, ketika teman-teman mengejekmu… ’Si hitam… Si hitam…!’ kamu jawab saja ‘tapi manis, ‘kan?” Kakek memberiku saran.
Aku heran. Saran apa itu? Aku takut teman-teman akan semakin mengejekku. Tetapi, kakek meyakinkan aku. Ia malah memintaku melatihnya berulang-ulang. Sore itu, aku bisa tertawa. Biarlah. Aku coba saja besok. Mungkin saja Kakek benar, begitu pikirku.
Ternyata, Kakek benar! Esok harinya, ketika teman-teman mengejekku lagi, aku langsung menjawab. Aku menjawab dengan kalimat yang sudah berulang kali aku latih.
“Tapi maniiiiss, ‘kan?”
Ajaib! Teman-temanku lalu diam termangu mendengar jawabanku.
Lalu, salah seorang temanku menjawab pelan “Iya sih…, kamu meman hitam, tetapi memang maniis juga…” begitu katanya. Temanku yang lain lalu tertawa. Lalu, aku juga tertawa. Kami memang berteman dekat, walau kadangkadang kami lupa batas ketika bercanda.
Benar kata Kakek! Tak perlu memberatkan hati dengan masalah yang kecil. Gunakan akal yang cerdik untuk meringankan beban hati. Kakek membelaku dengan caranya yang cerdik. Kakek mengajarku untuk membela diri dengan akal pikiranku. Terima kasih atas nasihatmu…, Kakek, Pahlawanku!
———————
Santi Hendriyeti
Idolaku, Pahlawanku
Sore ini aku termangu di teras rumah. Aku menyaksikan temanteman bermain sepeda dengan riang. Mereka berputar mengelilingi lapangan di depan rumahku. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bisa mengendarai sepeda. Aku ingin bisa ikut pawai sepeda hias minggu depan. Tetapi aku belum bisa mengendarai sepeda! Ayah selalu pulang di malam hari. Tidak ada yang mengajariku naik sepeda. Aku tidak mungkin minta teman-teman mengajariku. Aku malu!
Aku masih termangu ketika kulihat pagar depan terbuka. Abang pulang! Abangku sekolah di SMA kabupaten, kelas 10. Umurnya enam tahun di atasku. Abang hanya pulang pada akhir pekan. Pada hari sekolah, ia tinggal denganpaman, yang rumahnya dekat dengan SMA kabupaten.
Abang duduk di sebelahku. Ia menanyakan kabarku. Aku langsung bercerita tentang keinginanku. Aku bercerita bahwa aku iri dengan teman-teman yang bersepeda di depan rumah.
Abang langsung menggandeng tanganku. Ia mengajakku mengambil sepeda di belakang rumah. Diperiksanya ban sepeda. Agak kempis karena jarang dipakai. Abang meminjam pompa sepeda kepada tetangga sebelah rumah. Aku hanya memperhatikan Abang. Apa yang akan dilakukannya?
Setelah memompa ban sepeda, Abang membawa sepeda ke luar rumah. Ia memanggilku. “Ayo, belajar naik sepeda dengan Abang!” begitu katanya. Aku pun tersenyum riang. Oh..iya..! Abang ‘kan pandai bersepeda. Ia malah pernah menjadi pemenang lomba balap sepeda di kabupaten. Aku lupa, Abang sudah cukup besar. Ia bisa mengajariku bersepeda. Aku tidak usah menunggu ayah punya waktu pada akhir pekan untuk mengajarku.
Sore itu Abang membimbingku dengan sabar. Dipegangnya sepeda dari belakang. Diajarnya aku mengayuh dengan benar. Beberapa kali aku jatuh, tetapi aku tidak menyerah. Abang terus memberiku semangat. Langit mulai jingga, matahari hampir terbenam. Aku sudah mulai lancar bersepeda! Abang hanya mengikutiku dari belakang. Sepeda tidak perlu dipegangnya lagi. Aku senang sekali. Kalau aku rajin bersepeda setiap sore, minggu depan pasti aku sudah bisa ikut pawai sepeda hias.
Abangku adalah idolaku. Tidak dihiraukannya tubuh lelah setelah menempuh perjalanan dari kabupaten. Abang sabar membantuku belajar bersepeda. Abangku adalah pahlawanku. Terima kasih, Abang!
———————
Santi Hendriyeti
Pahlawan Tak Terduga
Boni menggaruk-garuk kepalanya. Rambutnya berantakan. Sudah sepuluh menit Boni berkeliling kelas, dari satu meja ke meja lain.Isi tasnya pun berantakan di atas meja. Pensilnya hilang! Boni hanya membawa sebatang pensil ke sekolah. Sekarang pensil itu hilang! Padahal sebentar lagi ulangan matematika akan dimulai. Duh..bagaimana ini?
Boni berkeliling mendatangi teman-temannya. Ia ingin meminjam pensil. Tetapi,…teman-temannya menolak. Mereka hanya membawa pensil yang cukup bagi mereka. Lagipula, teman-teman kesal dengan Boni. Ia jarang membawa alat tulis dari rumah, hanya mengandalkan pinjaman dari temantemannya. Lalu, menghilangkan pensil pinjamannya entah ke mana. Boni tidak bertanggung jawab!
Hari itu muka Boni yang memelas tidak dihiraukan oleh teman-temannya. Gawat! Jika Pak Halim tahu Boni tidak siap, pasti ia tidak diz inkan mengikuti ulangan matematika. Tidak membawa alat tulis bisa dianggap tidak siap mengikuti ulangan. Boni terduduk lemas di mejanya. Ia tahu ini akibat keteledorannya sendiri. Boni bingung bagaimana nanti harus menjawab pertanyaan Pak Halim.
Tiba-tiba…, ada tangan menyentuh punggung Boni. Tangan Bima. Ia menyodorkan sebatang pensil. “Ini, kamu boleh pinjam pensilku. Aku membawa pensil lebih hari ini,” katanya
Boni terdiam. Boni ragu untuk mengambil pensil itu, tetapi Bima sudah meletakkannya di atas meja. Boni malu! Boni sering mengejek Bima. Tubuhnya kecil, tak banyak bicara, walaupun ia pandai. Ia hanya diam tak membalas ketika Boni terus-terusan mengejeknya.
Hari ini Boni yang terdiam. Bima, yang sering diejeknya, menjadi penyelamatnya. Boni bisa mengikuti ulangan matematika karena Bima, pahlawan tak terduga.
———————
Santi Hendriyeti
Pahlawan Tak Terlihat
Siang ini terik sekali. Panas matahari terasa membakar kulit. Pak Amat memikul dagangannya dengan lemas. Ia berjalan menyeret kaki. Peluh bercucuran membasahi dahi dan tubuhnya. Panas sekali! Pak Amat melirik dagangannya sekilas. Masih banyak! Tak kuat lagi kaki Pak Amat melangkah untuk menjajakan pisang di pikulannya.
Terus melangkah dengan berat, Pak Amat melihat sebatang pohon besar yang rimbun di pinggir jalan. “Ah…, akhirnya ada tempat untuk berteduh sejenak. Aku harus beristirahat agar kuat berkeliling lagi menghabiskan daganganku,” katanya dalam hati.
Pak Amat meletakkan dagangannya di bawah pohon itu. Ia minum air yang tersisa di botolnya, meluruskan punggungnya yang pegal, lalu membaringkan diri di samping pikulannya. Tak lama kemudian, ia pun tertidur lelap. Pulas!
Menjelang sore, langit mulai bersahabat. Terik matahari mulai mereda. Pak Amat terbangun dari tidur pulasnya. Segar dan bugar tubuhnya. Keringatnya menguap, lelahnya pun lenyap.
Sambil duduk bersandar di batang pohon rimbun itu, Pak Amat mengucap dalam hati, “Terima kasih kepada siapa pun…, wahai engkau yang menanam pohon rindang ini. Tanpa jasamu, aku pasti lemas. Tak henti berjalan di bawah terik matahari. Terima kasih untukmu, pahlawan tak terlihat.”
Lalu, Pak Amat berdiri, memanggul pikulannya. Ia berjalan lagi dengan semangat. “Pisang…pisaang…!” teriaknya keras.
———————
Santi Hendriyeti
Ia Hanya Seorang Ibu…
Ketika libur sekolah, aku selalu berjalan-jalan pagi di sekitar taman kota. Aku senang menghabiskan waktu di sana. Jika lelah, aku biasanya duduk saja di pinggir jalan, mengamati orang lalu lalang di bawah pohon-pohon rindang.
Aku perhatikan setiap pagi ada seorang ibu yang rajin menyapu daun-daun yang berserakan di bawah pohon. Ia menyapu dari ujung jalan satu hingga ujung jalan lain. Daun yang disapunya lalu dikumpulkannya di bawah pohon rindang. Nanti, daun itu akan terpanggang panas matahari, lalu tersiram hujan. Terus menerus. Lalu, tumpukan daun akan hancur menjadi humus.
Ibu penyapu daun selalu berpakaian yang sama. Kaus putih, sarung batik, dan caping. Hanya itu. Ia tidak mengenakan pakaian seragam dari dinas kebersihan jalan. Walaupun tak pernah bertanya, aku mengira pekerjaan sesungguhnya memang bukan penyapu jalan. Aku mengira ia hanyalah seorang ibu yang peduli dengan lingkungannya.
Seminggu kemudian, aku menemukan jawaban atas perkiraanku. Ketika akan membeli sebungkus nasi uduk di taman kota, aku bertemu dengan si ibu penyapu daun. Ternyata, ibu penyapu daun adalah pedagang minuman di taman kota. Ia berjualan ditemani anak laki-lakinya. Ketika sempat, ia meninggalkan sejenak dagangannya untuk menyapu daun-daun di bawah pohon rindang.
Aku tertegun, kagum pada si ibu. Tidak ada yang membayarnya untuk menyapu daun-daun yang terserak di bawah pohon. Ia hanya seorang ibu, yang peduli pada kebersihan lingkungannya. Ia hanya seorang ibu, yang mau berbuat lebih untuk lingkungannya.
———————
Santi Hendriyeti