gurune.net – Filosofi dan Pedagogi Pembelajaran Koding dan AI dalam Kurikulum Nasional. Transformasi pendidikan nasional di era digital menuntut pendekatan yang tidak hanya berfokus pada teknologi semata, tetapi juga pada landasan pemikiran yang mendalam. Pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial (AI) menjadi wujud konkret dari kemajuan pendidikan berbasis teknologi. Namun, penguatan landasan filosofis dan pedagogis tetap menjadi fondasi utama agar proses pembelajaran tetap berpihak pada nilai kemanusiaan dan kontekstual dengan realitas sosial.
Pendidikan bukan sekadar aktivitas transfer ilmu, tetapi merupakan proses pembentukan manusia seutuhnya. Filsuf pendidikan seperti John Dewey (1916) menyatakan bahwa pendidikan merupakan cara hidup bersama (the way associated living), yang bermakna sosial, komunal, dan berkelanjutan. Dewey juga menegaskan bahwa pendidikan tidak memiliki titik akhir; ia senantiasa tumbuh seiring perkembangan peradaban manusia.
Sejumlah pakar pendidikan, seperti Ausubel, Ornstein & Hunkins, serta Ralph Tyler, menggambarkan filosofi pendidikan sebagai refleksi dari masyarakat ideal yang dicita-citakan. Oleh karena itu, dalam pendidikan modern, filosofi menjadi pengarah nilai, tujuan, dan metode pembelajaran yang digunakan.
Empat mazhab utama dalam filsafat pendidikan yaitu perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme. Perenialisme menekankan pentingnya nilai-nilai abadi di tengah perubahan zaman. Esensialisme menitikberatkan pada penguasaan dasar-dasar pengetahuan sebagai bekal hidup. Progresivisme mendorong pendidikan yang adaptif terhadap perubahan sosial. Sedangkan rekonstruksionisme melihat pendidikan sebagai alat untuk transformasi sosial.
Pemikiran ini sejalan dengan konsep pendidikan nasional Indonesia yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara. Menurutnya, pendidikan harus memerdekakan dan membentuk manusia yang berkepribadian serta berdaulat dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan tak boleh tercerabut dari akar budaya dan harus menjadi pranata pelestari serta pengembang kebudayaan bangsa.
Dalam konteks ini, pembelajaran koding dan KA tidak sekadar memenuhi tuntutan industri, tetapi juga memiliki makna filosofis. Pertama, pendidikan koding dan KA adalah bagian dari upaya sadar membangun peradaban manusia (human civilization) yang adil, berkelanjutan, dan berteknologi tinggi. Capaian teknologi seperti AI harus membawa nilai humanis dan demokratis.
Kedua, pembelajaran teknologi berbasis kecerdasan artifisial harus tetap mengakar pada falsafah pendidikan nasional. Manusia Indonesia yang dituju adalah sosok yang utuh: bertakwa, cerdas, terampil, dan sehat jasmani serta rohani. Dalam kerangka ini, pendidikan berfungsi membentuk karakter bangsa yang mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain di dunia.
Ketiga, pendidikan harus responsif terhadap dinamika masyarakat. Dalam kerangka pengembangan kurikulum, sebagaimana dijelaskan oleh Oliva & Gordon (2013), perubahan masyarakat akan mendorong perubahan kurikulum. Teknologi informasi, perubahan sosial, budaya, dan ekonomi harus tercermin dalam isi dan metode pembelajaran.
Pembelajaran koding dan KA berperan strategis dalam menjawab kebutuhan zaman. Teknologi bukan sekadar alat bantu, tetapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, peserta didik harus dibekali keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif.
Dari segi pedagogis, pembelajaran koding dan KA didasarkan pada teori-teori pendidikan mutakhir. Salah satunya adalah teori konstruktivisme dari Jean Piaget dan Lev Vygotsky, yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi aktif dan eksplorasi. Dalam konteks ini, peserta didik belajar bukan hanya menerima informasi, tetapi juga menciptakan makna melalui pengalaman nyata.
Model pembelajaran berbasis projek (Project-Based Learning) sangat relevan dalam pengajaran koding dan KA. Seperti dikatakan John Dewey, belajar yang bermakna harus melibatkan praktik langsung dan refleksi pengalaman. Dalam coding, peserta didik menghadapi tantangan nyata dan belajar menyusun solusi melalui pemrograman dan desain sistem.
Selain itu, pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) memberikan ruang bagi peserta didik untuk berpikir logis dan analitis. Proses pemecahan masalah kompleks dalam dunia KA melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order thinking skills), yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern.
Teori kecerdasan majemuk dari Howard Gardner juga relevan dalam pembelajaran KA. Koding melibatkan kecerdasan logis-matematis, desain antarmuka membutuhkan kecerdasan visual-spasial, dan kerja tim dalam proyek teknologi mengasah kecerdasan interpersonal. Artinya, pembelajaran ini inklusif terhadap berbagai potensi peserta didik.
Konsep penting lainnya dalam pembelajaran koding adalah computational thinking, yang diperkenalkan Jeanette Wing (2006). Konsep ini mengajarkan peserta didik bagaimana memecah masalah kompleks menjadi bagian kecil (decomposition), mengenali pola (pattern recognition), melakukan abstraksi, dan menyusun solusi secara algoritmik. Computational thinking tidak hanya penting dalam dunia IT, tetapi juga berguna dalam disiplin ilmu lain.
Konektivisme, teori pembelajaran modern yang dikembangkan oleh George Siemens, memperkuat urgensi pembelajaran KA. Dengan konektivisme, peserta didik dapat belajar dari berbagai sumber digital secara mandiri dan terhubung secara global. Platform open-source, komunitas daring, serta kolaborasi lintas negara menjadi bagian dari ekosistem belajar digital masa kini.
Pendekatan ini membentuk kompetensi 6C, yakni Character, Citizenship, Critical Thinking, Creativity, Collaboration, dan Communication. Ini adalah kompetensi utama yang diperlukan peserta didik untuk sukses di era digital dan global.
Dalam konteks Kurikulum Nasional, koding dan KA memungkinkan penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Peserta didik diberi ruang untuk memilih cara belajar sesuai minat, gaya, dan kebutuhan mereka. Ini sejalan dengan prinsip Kurikulum Nasional yang menempatkan peserta didik sebagai pusat pembelajaran.
Fleksibilitas dalam pembelajaran ini memungkinkan pengembangan potensi maksimal peserta didik. Mereka tidak hanya belajar kode atau teori AI, tetapi juga mengembangkan pola pikir kritis, adaptif, dan kreatif yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan dan pekerjaan masa depan.
Lebih jauh, pembelajaran ini mengintegrasikan keterampilan literasi digital yang menjadi kebutuhan pokok di abad ke-21. Tidak hanya kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga memahami etika, keamanan data, dan dampak sosial dari teknologi tersebut.
Pembelajaran koding dan KA harus didesain dalam ekosistem pendidikan yang sehat dan kolaboratif. Peran guru sebagai fasilitator sangat vital. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber ilmu, tetapi sebagai pembimbing yang mengarahkan peserta didik dalam proses eksplorasi dan penciptaan solusi.
Penting pula untuk melibatkan dunia industri, komunitas teknologi, dan pemerintah dalam mendukung pembelajaran ini. Ketersediaan perangkat, kurikulum adaptif, serta pelatihan guru menjadi faktor pendukung kesuksesan implementasi pembelajaran KA di sekolah.
Untuk mengembangkan kurikulum yang relevan, sinergi antara pembuat kebijakan, praktisi pendidikan, dan pakar teknologi harus terbangun. Koding dan KA tidak boleh menjadi mata pelajaran eksklusif, tetapi harus terintegrasi secara inklusif dalam semua jenjang pendidikan.
Penutup
Mengintegrasikan koding dan kecerdasan artifisial dalam sistem pendidikan bukan sekadar inovasi, melainkan kebutuhan strategis untuk mempersiapkan generasi unggul. Landasan filosofis menjamin bahwa pembelajaran ini tidak kehilangan arah nilai, sedangkan pendekatan pedagogis memastikan bahwa peserta didik terlibat aktif dan tumbuh secara menyeluruh. Dengan desain pendidikan yang kuat secara filosofi dan pedagogi, Indonesia memiliki peluang besar untuk menciptakan masyarakat digital yang cerdas, beretika, dan berdaya saing global.