Mengenal Kali Gajah Wong di Yogyakarta

gurune.netMengenal Kali Gajah Wong di Yogyakarta – Daerah tempat tinggal penduduk
Yogyakarta beragam. Ada daerah dataran tinggi, dataran rendah, pesisir, kota, dan desa. Di Yogyakarta juga banyak dijumpai sungai, di antaranya Sungai Opak, Sungai Code, Sungai Kuning, Sungai Progo, dan Sungai Gajah Wong.

Salah satu sungai di Yogyakarta yang memiliki cerita legenda adalah Sungai Gajah Wong. Penduduk Yogyakarta sering menyebut sungai dengan kali. Kali Gajah Wong adalah sebuah kali yang terletak di tengah-tengah kota Kecamatan Kotagede.

Panjang kali ini tidak lebih dari 20 kilometer. Pada abad ke-17, kali ini merupakan kali yang kecil. Masyarakat di daerah tersebut menyebutnya dengan kalen, yang artinya kali kecil. Dan kebetulan airnyapun hanya gemercik mengalir sedikit sekali.

Kali Gajah Wong

Hari itu, Ki Sapa Wira bersiul riang. Seperti biasa, ia akan memandikan gajah milik junjungannya,
Sultan Agung, raja Kerajaan Mataram. Dengan hati-hati, Ki Sapa Wira menuntun gajah yang dinamai Kyai Dwipangga itu.

Mereka berjalan ke sungai yang terletak di dekat Keraton Mataram. Mulailah ia memandikan gajah yang berasal dari negeri Siam itu.

“Nah, sekarang kau sudah bersih. Rambutmu sudah mengilap, sekarang ayo kembali ke kandangmu,” kata Ki Sapa Wira kepada Kyai Dwipangga. Ki Sapa Wira memang memperlakukan Kyai Dwipangga seperti anaknya sendiri. Tak heran, Kyai Dwipangga amat patuh padanya.

Suatu hari, Ki Sapa Wira tak bisa memandikan Kyai Dwipangga. Ada bisul besar di ketiaknya,
rasanya ngilu sekali. Badannya juga demam karena bisul itu. Ia meminta tolong pada adik iparnya, Ki Kerti Pejok, untuk menggantikan memandikan Kyai Dwipangga. “Kerti, tolong aku ya. Aku benar-benar tak bisa bekerja hari ini,” kata Ki Sapa Wira.

Baca Juga :  Gerakan Tangkisan dalam Pencak Silat

“Tenang Kang, aku pasti akan membantumu. Tapi tolong beritahu, bagaimana caranya supaya gajah itu menurut padaku? Aku takut jika nanti ia marah dan menyerangku,” jawab Ki
Kerti Pejok.

Mengenal Kali Gajah Wong di Yogyakarta

“Biasanya kalau
ia mulai gelisah, pantatnya aku tepuk-tepuk, lalu aku tarik ekornya. Nanti ia
akan kembali tenang dan berendam sendiri di sungai. Kau tinggal memandikannya,”
jelas Ki Sapa Wira. Ki Kerti Pejok mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia lalu
berangkat ke sungai untuk memandikan Kyai Dwipangga.

Sepanjang perjalanan Ki Kerti Pejok mengajak Kyai Dwipangga mengobrol. Ia juga membawa
buah-buahan sebagai bekal dalam perjalanan. “Gajah gendut, kau mau makan kelapa?” tanyanya sambil melemparkan sebutir kelapa pada Kyai Dwipangga. Kyai Dwipangga menangkap kelapa itu dengan belalainya. Dengan mudah ia memecah kelapa itu dan memakannya.

“Sekarang kau sudah kenyang, kan? Ayo jalan lagi,” kata Ki Kerti Pejok sambil memukul pantat
Kyai Dwipangga.

Sesampainya di sungai, Ki Kerti Pejok melaksanakan tugasnya dengan mudah. Digosoknya seluruh bagian tubuh Kyai Dwipangga sampai bersih dan berkilap. Setelah itu mereka pulang ke keratin Mataram. “Kang, hari ini aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik. Apa besok Kakang masih memerlukan bantuanku?” tanya Ki Kerti Pejok pada Ki Sapa Wira.

“Jika kau tak keberatan, maukah kau memandikannya sekali lagi? Aku masih demam, sedangkan
gajah itu harus dimandikan setiap hari,” jawab Ki Sapa Wira.

“Baik Kang, aku tidak keberatan. Toh gajah itu sangat penurut. Jadi, aku tak kesulitan saat
memandikannya,” kata Ki Kerti Pejok.

“Terima kasih Kerti, lusa aku pasti sudah sembuh. Kau akan bebas dari tugas ini,” kata Ki
Sapa Wira.

Keesokan harinya, Ki Kerti Pejok menjemput Kyai Dwipangga. Pagi itu hujan turun rintik-rintik, tapi sepertinya tak akan bertambah deras. Di sungai Ki Kerti Pejok bimbang karena dilihatnya air sungai sedang surut.

Baca Juga :  Menyanyikan Lagu Aku Anak Indonesia

“Wah, airnya dangkal sekali. Mana bisa gajah ini berendam? Aku sendiri saja tak bisa,
apalagi gajah yang besar?” pikirnya dalam hati.

“Gajah gendut, kita cari sungai yang lain saja. Sungai ini dangkal, kau tak akan bisa berendam
di sini.”

Ki Kerti Pejok menuntun Kyai Dwipangga ke hilir sungai. Di situ air tampak tinggi dan aliran
juga cukup deras. “Nah, di sini sepertinya lebih asyik. Ayo, sana masuk, berendamlah. Aku akan menggosok punggungmu dengan daun kelapa ini,” kata Ki Kerti Pejok sambil memukul pantat Kyai Dwipangga. Sambil memandikan Kyai Dwipangga, Ki Kerti Pejok berpikir dalam hati.

“Sebaiknya aku beritahu Kakang untuk memandikan gajahnya di sini. Disini airnya lebih dalam,
arusnya juga cukup deras. Aneh, kok selama ini Kanjeng Sultan Agung tak tahu keberadaan sungai ini, ya?”

Saat ia sibuk berbicara sendiri, tiba-tiba dari arah hulu datanglah banjir bandang yang
sangat besar. Banjir itu datang dengan sangat cepat. Ki Kerti Pejok dan Kyai Dwipangga bahkan tak menyadarinya.

Dalam sekejap,
mereka terhempas dan terbawa arus. “Tolong… tolonggg…,” teriak Ki Kerti
Pejok. Tapi tak ada yang mendengar. Sungguh menyedihkan nasib Ki Kerti Pejok
dan Kyai Dwipangga. Mereka terseret arus dan hanyut sampai ke Laut Selatan.

Sungguh sangat disayangkan, mereka binasa dalam keganasan banjir bandang itu. Ki Kerti Pejok
tak tahu bahwa selama ini Sultan Agung memang melarang para abdinya memandikan gajah di hilir sungai. Karena ia tahu bahaya bisa datang sewaktu-waktu di sana. Ki Sapa Wira berduka. Ia sangat sedih karena kehilangan adik ipar dan gajah kesayangannya.

Untuk mengenang kejadian itu, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong. Kali berarti
sungai, gajah wong berarti gajah dan orang. Kali Gajah Wong ini terletak di sebelah timur Kota Yogyakarta.

Baca Juga :  Jawaban dari Bacaan Raja Purnawarman, Panji Segala Raja

Sumber : diambil dari buku siswa I Dongeng Cerita Rakyat

Ayo Berlatih

Jawablah pertanyaan berikut berdasarkan teks cerita di atas.

1.       Siapa saja tokoh pada cerita di atas?

Tokoh pada cerita diatas adalah Ki Sapa Wira, Kyai Dwipangga, Ki Kerti Pejok, dan Sultan
Agung

2.    Adakah tokoh antagonis dan protagonis pada cerita? Siapakah tokoh itu?

Semua tokoh dalam cerita tersebut tidak menunjukkan sifat buruk, jadi dalam cerita tersebut tidak
terdapat tokoh antagonis

Yuda Candra

Guru yang juga mendalami dunia blogger dan sudah berkecimpung di dunia blog sejak 2016. Saat ini menjadi editor di beberapa website. Memilki hobby menulis baik pada dunia pendidikan maupun di dunia teknologi informasi

Artikel Terkait

Leave a Comment

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.